Selasa, 14 Januari 2014

Fanfic: Sherlock Holmes and Molly Hooper (Sherlolly)

 Labu-labu kuning di seluruh pedesaan Abbington hancur. Tidak dimakan, namun hancur. Seluruh desa menyalahkan Tuan Landak karena kejadian ini. "Aku bahkan tidak doyan labu," kata Tuan Landak bingung. "Dia pasti mengejar kunang-kunang di malam hari lagi hingga membuat labu kita hancur!"

Tuan Landak makin bingung. Ia adalah pengamat bintang yang handal dan disegani. Hampir semua perkiraan musim diprediksi tepat di tangannya. Setiap malam, ia mengamati bintang untuk bukunya, dan sesekali ia menangkapi kunang-kunang karena kunang-kunang juga bersinar dan lebih 'dekat'. Tapi Tuan Landak tidak pernah berbuat keributan, apalagi merusak tanaman warga.

"Lihat durinya, lihat!" teriak Kakek Kelinci, "Dia bisa merusak apa saja karena durinya!"

"Ya! Ramalan terakhirnya juga tidak tepat, panen kami gagal! sekarang labu kami dihancurkannya!"

"Pergi dari Abbington! Pergi!"

Tuan Landak pergi dari Abbington tanpa bicara apapun. Dia tidak mau melawan warga yang marah padanya di Abbington. Teman-temannya bingung karena Tuan Landak sudah tidak pulang seminggu penuh, tanpa pesan.


"Mummy..." Morgan menggapai-gapaikan tangannya yang kecil ke hadapan mukaku. Aku hanya tersenyum, mencium telapak tanggannya, dan menggenggam tangannya erat sambil berbisik, "Ya, Sayang.."

Dia melihatku meneteskan air mataku. Aku tidak menyadarinya. Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku sedang memangku balita berambut coklat ikal ini, dengan buku cerita Tuan Landak terbuka di hadapan kami, dan tiba-tiba aku menangis.

"Mummy, Mummy menangis..." dia menggapai-gapai wajahku lagi.

"Oh Morgan," aku memeluknya erat tanpa kuasa menahan airmataku. Morgan kecil mengelus-elus tanganku yang melingkari perutnya sambil terus memanggilku dengan bingung.

***

Kami tidak menikah. Kami tidak hidup bersama. Dia sering ke apartemenku jika dia sedang kabur tapi...lebih sering aku yang mengunjungi apartemennya. Ya, apartemennya di 221B Baker Street.

Sampai kami memiliki Morgan pun kami tidak bersama. Aku pindah ke apartemen yang baru--yang lebih layak untuk bayi--tapi dia tetap di apartemennya. Dia tentu sering datang dan sering tinggal, dan aku juga masih sering datang ke apartemennya dengan Morgan, tapi kami tidak tinggal bersama.

Hubungannya dengan Morgan? Dia tetaplah dia. Dia menanyakan dengan penuh sarkasme mengapa bayi selalu berliur banyak dan mengapa bayi tidak bisa ke kamar mandi sendiri. Dia bukan pengganti popok yang handal dan susu untuk Morgan sering dia campurkan untuk tehnya sendiri.

Namun dia bilang dia suka Morgan. Untuk ukuran bayi, Morgan tidak banyak menangis. Dia tak pernah keberatan menjaga Morgan selagi dia di apartemennya untuk memecahkan kasus. Saat Morgan berusia dua tahun dan sedang belajar bicara, dia tak keberatan berkutat di depan laptop dengan Morgan di pangkuannya--sementara Morgan mengulang semua kata yang baru ia pelajari. Saat Morgan berusia tiga tahun, dia sudah banyak membicarakan kasus di depan anak itu dan mendengar kata-kata Morgan tentang kasusnya.

"Morgan lebih pintar daripada John," katanya.

***

Lalu kenapa kami bersama?

Suatu malam, dia tiba-tiba masuk ke laboratorium RS St. Bart dan meraih pergelangan tanganku untuk bilang, "Jangan pergi." Dia mencium pipiku, lalu bibirku. Setelah itu aku tidak ingat, jika kau tahu apa maksudku.

Hubungan kami tidak jelas, tapi dia pernah memberiku cincin tanpa berkata apapun. Dia hanya tersenyum waktu membuka kotak itu di depanku. Saat itu ulang tahunku, dan aku memakai gaun yang dia bilang, lagi-lagi, "kau pakai untuk menutupi ukuran dadamu."


Makan malam itu cukup dingin dan tanpa kata seperti biasanya. Hanya saja, dia menjauhkan segala macam alkohol dari jangkauanku. Lalu dia mengajakku berdansa, katanya, "jangan sia-siakan gaunmu."

Kemudian aku muntah di dadanya. Aku punya Morgan dalam perutku.

***

"Sherly," katanya suatu hari.

"Sherly, apa?"

"Jika perempuan, maka beri nama Sherly."

"Maksudmu, Sherlock dan Molly?," tanyaku.

Dia berpaling dan menatapku lurus. Mungkin maksudnya 'Sherlock versi perempuan'.

Aku berkedip kaget, tersenyum sedikit, dan berkata dengan bingung, "Anak kita sudah lahir Sherlock, dia sudah dua tahun, sekarang sedang di pangkuanmu, tertidur."

Sherlock berpaling, menepuk-nepuk punggung Morgan sambil menghela nafas, "Yeah, aku ingin menamainya Sherly tapi kau tidak setuju."

***

Morgan sudah tertidur di selimut dan kasurnya yang hangat. Aku menutup buku cerita 'Tuan Landak' dan menaruhnya di rak. Aku berpaling, menatap ke luar jendela. Ini sudah dua tahun.

Ya benar, dua tahun. Ia sudah pernah menghilang selama dua tahun sebelum ini, saat dia pura-pura mati untuk melawan Moriarty. Kali ini, dua tahun, hampir dua tahun tiga bulan dia pergi. Belum ada tanda-tanda akan kembali.

Ponselku berbunyi dan di layar terlihat nama yang kukenal.

"Halo."

"Hi Babe."

Aku menghela nafas, "Yeah, Richard ada apa?"

"Morgan sudah tertidur?"

"Sudah."

"Besok kau akan butuh nanny," kata  Richard di seberang sana, "Aku sudah buat reservasi di L'Eclaire."

Aku tertawa, "kau ingat."

"Tentu, Sayang, ulang tahunmu, bagaimana aku bisa lupa," dia membuat suara ciuman di telepon, "Sampai besok malam."

****

Aku duduk sendirian di meja L'Eclair saat itu. Suasana terlihat normal tapi Richard belum datang. Seperti biasa, Richard memang sering terlambat.

Tiba-tiba ada orang yang duduk di hadapanku, membuka menu di mejanya dan menggumamkan nama-nama sampanye.

Aku mendongak dan terdiam. Laki-laki itu, berambut ikal dan bermata hijau laut, dengan hidung yang tegas dan tulang pipi yang tinggi, duduk begitu saja di hadapanku tanpa berkata apa-apa.

"Oh," dia menatap mataku lalu menutup buku menunya, "Akhirnya kau sadar. Ayo pergi."

Dia meraih tanganku dan menggeretku ke luar. Aku refleks menepis tangannya, lalu menampar pipinya.

"Aku sedang kencan," kataku marah, dengan airmata di pelupuk mataku.

"Jangan kau tunggu lagi, dia sudah ditangkap polisi. Ya ampun Molly, kapan kamu berhenti mengencani orang bermasalah," dia hanya memutar matanya lalu meraih tanganku lagi, "Ayo pergi."

Aku tak kuasa waktu dia menarik tanganku ke luar. Di depan restoran, baru aku bisa mengumpulkan kepalaku dan menepis tangannya pelan, tertahan, dengan air mata yang akhirnya tumpah, "Tidak, Sherlock. Kau tidak bisa datang dan pergi begitu saja."

"Oh ya, tentu aku bisa. Menurutmu untuk siapa aku melakukan ini?"

"Untuk klienmu."

"Untuk klien, untuk negara, untuk Ratu, siapa yang peduli?" dia membenahi mantelnya dan menarik tanganku untuk yang ketiga kalinya, "Ayo."

"Sherlock..."

"Aku rindu Sherly."

Aku terdiam. Sherly? Siapa yang dia maksud?

Dia menghela nafas karena aku tak mau mengambil langkahku. Dia berbalik, menatap mata coklatku, dan berbisik di hadapanku, "Kuharap dia berambut merah dan bermata hijau."


Kemudian dia mencium pipiku, lalu bibirku. Selanjutnya aku tidak ingat. Jika kau tahu apa yang aku maksud.

***THE END****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar