Jam setengah enam pagi dari rumah, jam empat sore udah sampe rumah lagi.
Sorry no photo yet, lagi di penjahit dikecilin (ukuran S masi kegedean hoh) diambil hari Jumat besok.
Prosesnya sampe ke sana aku ngga penting, yang penting sebenernya malem sebelum ngambil jas itu aku nangis sambil SMS-an sama haunina (duh emang asyik ya nangis di SMS) gara2:
satu, haunina tanya, "Hah besok kamu mo ngelaju ke Jogja sendirian Ray??"
Aku kalo berangkat ke Jogja selalu sendirian, tapi kalo ditanyain gitu kan 'BUGH!' di hati gitu rasanya :'((
dan dua, untuk pertama kalinya, aku mendeklarasikan dengan resmi (ke haunina, sambil nangis2) aku nyesel ngelepas ITB.
Kenapa aku belum bisa ikhlas? Apa alasannya? Sebelumnya aku memang nggak rela tapi bukan berarti aku nyesel, lah sekarang kenapa nyesel?
Kenapa U*M terlihat begitu berat, begitu panas cuacanya tapi begitu dingin interaksinya, kakak2nya kelihatan galak, peraturannya begitu kaku, bahasanya begitu resmi, dan yang paling penting, kenapa U*M bikin aku tertekan?
Seseorang yang kamu tidak sukai akan sulit untuk memaksamu bahkan untuk melakukan sesuatu yang kamu sukai sekalipun. Kira2 kayak gitu.
Bukannya ITB nggak resmi, tapi ITB beda, dan ITB lebih bisa dipahami dan kuterima karena ITB emang beda, punya klasifikasinya sendiri. Dan secara subyektif aku suka sama ITB.
Impian untuk kuliah di ITB rupanya bukan sesuatu yang bisa ditawar dengan mudah.
Dan aku akhirnya ngga bisa bales SMS terakhirnya Haunina yang tanya, "Kenapa kamu nggak ambil ITB akhirnya? Aku pikir kamu bakal milih ITB.."
Itu seperti pertanyaan, "Kenapa kamu nggak pertahanin idealisme kamu?"
Aku, sekali lagi bersyukur udah dapat berkah, bahwa banyak temen2 yang belum seberuntung ini, tapi tolong diketahui bahwa ini adalah tekanan.
Semoga U*M bisa membuatku betah, lulus cepet (amin) dan sukses setelahnya, tapi mendengar kata ITB masih membuat bangga sama nama besar itu, sekaligus sedih, namanya masih ada di salah satu sudut angan2ku.
Dan beberapa saat ke depan aku masih akan menangis.
Cheers.